Sunday, June 7, 2015


Plakat rumah kelahiran Sukarno


Kampung Pandean Surabaya


Rumah kelahiran Sukarno

TRIBUN-TIMUR.COM - Presiden RI pertama lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901, rumah tempat kelahirannya di Kampung Pandean pun telah menjadi cagar budaya.

Bagaimana kondisinya?

Sukarno lahir di sebuah rumah sederhana di Pandean gang IV nomor 40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.

Di atas pintu rumah dipasang plakat berwarna kuning keemasan bertuliskan "Rumah Kelahiran Bung Karno" dengan logo Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

Meski rumah ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya melalui Surat Keputusan Walikota Surabaya pada 2013 lalu, tetapi tampak tidak terawat dari luar.

Cat tembok rumah yang berwarna putih tampak kusam, begitu pula dengan kusen kayu yang berwarna biru.

Ketika BBC Indonesia datang ke Kampung Pandean tersebut, keterangan seorang tetangga rumah kelahiran Bung Karno menyebutkan Jamilah pemilik rumah sedang berada di luar kota.

Azhari, seorang warga asli Kampung Pandean yang berusia lanjut, menyampaikan bahwa rumah tersebut sudah empat sampai lima kali pindah tangan kepemilikan.

Azhari mengatakan berdasarkan cerita yang dia dapat dari orang-orang tua di kawasan itu, ayah Sukarno yaitu Raden Soekemi Sosrodihardjo merupakan salah satu pendatang di kampung Pandean, dan pindah beberapa tahun kemudian dari daerah tersebut.

Sukarno remaja, menurut cerita yang didapat Azhari, kembali lagi ke kawasan Pandean dan Peneleh

"Dulu Bung Karno dulu masa kecilnya biasa-biasa saja, setelah beliau remaja, datang lagi ke daerah Pandean-Peneleh utk belajar agama, politik dan pergerakan bersama dengan HOS Cokroaminoto, di daerah ini dulu tumbuh subur organisasi pergerakan dan kepemudaan", tukas Azhari.

Penelusuran rumah Sukarno

Penelusuran rumah tempat kelahiran Sukarno dilakukan Institut Sukarno sejak 2007 lalu.

Pendiri lembaga Intitut Sukarno, Peter A Rohi mengatakan kajian dari sejumlah buku diketahui Sukarno pernah tinggal di Kampung Pandean- dan Peneleh.

"Berdasarkan buku yang kami kaji buku-buku sebelum tahun 66, disebutkan Sukarno lahir di kawasan Pandean dan pernah tinggal kawasan Pandean dan Peneleh ketika remaja, kami pun mencari informasi dari warga yang tinggal di daerah itu untuk mengkonfirmasinya," jelas Peter.

Berdasarkan keterangan dari warga setempat itulah, menurut Peter, dia mengetahui lokasi tempat Sukarno dilahirkan.

Sejak tahun 2007 lalu, Pemerintah Surabaya berupaya menelusuri letak rumah kelahiran Bung Karno dengan melakukan kajian terhadap hasil riset Institut Sukarno dan Dinas Pariwisata dan Budaya serta dokumen sejarah lainnya.

Pemerintah kota Surabaya pun menemukan rumah kelahiran Bung Karno di kampung Pandean, dan telah menetapkannya sebagai bangunan cagar budaya pada 2013 lalu, seperti dijelaskan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya, Wiwik Widayati.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyebutkan berupaya untuk membeli rumah ini, tetapi masih dalam proses penjajakan dengan pemilik rumah.

"Waktu itu ada masukan dari lembaga Institut sukarno dan memprosesnya sebagai bangunan cagar budaya, juga masukan dari anggota masyarakat," jelas Wiwik.

"Pemerintah kota mencoba telah ditetapkan jadi cagar budaya, rumah ini terpelihara sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan bangunan itu tahap yang baru dilaksanakan, kami masih proses (untuk pembelian) sampai hari ini," jelas Wiwik.

Pemerintah kota Surabaya juga telah menjadikan rumah kelahiran sukarno sebagai rumah museum, yang dapat dikunjungi sebagai tempat wisata.

Mengapa jadi kontroversi?

Kota tempat kelahiran Presiden RI pertama kembali menjadi pembicaraan setelah presiden Joko Widodo dalam pidato Peringatan Hari Pancasila Sakti menyebutkan Blitar sebagai kota kelahiran Sukarno.

Padahal sumber-sumber sejarah menyebutkan Sukarno lahir di Surabaya. Mengapa berbeda?

Peter A Rohi menyebutkan perbedaan tersebut terjadi karena ada kesalahan dalam menerjemahkan buku tentang sukarno yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh seorang jurnalis AS Cindy Adams.

"Selanjutnya buku itu diterjemahkan oleh tim penulis sejarah dari ABRI (TNI) dengan menyebutkan Bung Karno lahir di Blitar," jelas Peter.

Padahal dalam buku karya Cindy Adams , menurut Peter, Bung Karno mengatakan, "Karena bapak saya berpindah-pindah, maka ketika pindah ke Surabaya, di tempat itulah saya lahir," jelas Peter.

Dia menjelaskan dalam semua buku-buku biografi Bung Karno yang terbit sebelum tahun 1966, terang Peter, ditulis bahwa Bung Karno lahir di Surabaya.

Tetapi buku terjemahan karya Cindy Adams yang diterbitkan kembali pada 2007 lalu, menyebutkan Sukarno lahir di Surabaya.(BBC)



Ref:

Sukmawati: Sukarno Lahir di Surabaya Lalu Pindah ke Blitar

Jakarta - Putri Presiden RI pertama Sukarno, Sukmawati Soekarnoputri menegaskan ayahnya lahir di Surabaya. Ia menepis jika ada literatur atau sumber yang menyebut Sang Proklamator lahir di Blitar.

"Beliau lahir di Surabaya. Jelas, itu jelas. Bukan lahir di Blitar, salah itu," kata Sukmawati saat dihubungi, Sabtu (6/6/2015).

Dia menjelaskan Sukarno lahir saat kakeknya Raden Soekemi Sosrodihardjo yang sebagai guru mengajar di Surabaya. Hingga beberapa tahun sebelum pindah, ayahnya sejak lahir menurut dia tinggal di Kota Pahlawan.

"Ayahnya bapak mengajar di Surabaya sampai beberapa tahun. Bapak jadinya tinggal di Surabaya sampai beberapa tahun itu," ujarnya.

Sukmawati mengklarifikasi adanya pernyataan bahwa ayahnya dari kecil berada di Blitar. Menurutnya, setelah Surabaya, kakeknya mendapat pekerjaan mengajar di daerah Jawa Timur lain seperti Blitar. Tawaran ini diterima Soekemi.

"Jadi, itu yang benar. Lahir di Surabaya, terus kakek saya ada tawaran mengajar di Blitar ya sudah pindah. Bapak ikut dibawa. Waktu itu kan (Soekemi) kalau ngajar pindah-pindah," tuturnya.


http://news.detik.com/read/2015/06/06/211834/2935334/10/sukmawati-sukarno-lahir-di-surabaya-lalu-pindah-ke-blitar

Laporan dari Den Haag: Bung Karno Lahir di Blitar

Foto: Soekarno siswa HBS 1916 (Het Vrije Volk)
Den Haag - Di mana tempat Sang Proklamator, Presiden RI Pertama Soekarno dilahirkan? Jauh sebelumnya, sumber-sumber di Belanda sudah mencatat kontroversi mengenai tempat Soekarno dilahirkan, bahkan ketika Bung Karno masih hidup dan sedang di puncak kekuasaan.

Dari dua tempat kelahiran yang menjadi kontroversi, deskripsi menurut penuturan Soekarno sendiri dalam otobiografinya lebih tepat menunjuk ke Blitar daripada Surabaya.

"Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus." (Cindy Adams: Bung Karno Penjambung Lidah Rakyat, hal 22, edisi Revisi).

Secara visual, Gunung Kelud memang lebih dekat ke Blitar daripada Surabaya. Masyarakat sekitar akan mengiyakan dan membenarkan sesuai ucapan Bung Karno sendiri.

Data geografi juga membuktikan dan memperkuat ucapan Bung Karno. Jarak antara Gunung Kelud ke kota Blitar dalam satuan metrik cuma 37,4 km. Sebaliknya jarak antara gunung berketinggian 1,731 m itu dengan Surabaya empat kali lipat lebih jauh, yakni 130,5 km.

Pemahaman yang sudah terlanjur diterima dan ditulis oleh sebagian kalangan bahwa masa kecil Soekarno ada di Surabaya juga perlu diberi tanda tanya dan dilihat ulang secara kritis.

Sebab, sumber di Belanda mencatat bahwa masa kecil Soekarno dan pendidikan sekolah dasarnya ditempuh di Mojokerto, bukan di Surabaya.


In Modjokerto ging de jonge Soekarno op school, eerst op de inlandse, later (zijn vader wilde zijn zoon vooruit brengen in de wereld) op de Europese lagere school... Di Mojokerto Soekarno kecil pergi ke sekolah, mula-mula ke sekolah pribumi, kemudian (ayahnya ingin membawa anaknya maju di dunia) ke Sekolah Dasar Eropa...(red)," (Het Vrije Volk, Sabtu 4 Desember 1965).

Keterangan tersebut mementahkan pemahaman bahwa masa kecil Soekarno berada di Surabaya dan menggugah kesadaran semua pihak untuk perlu menggali lebih lanjut kehidupan Soekarno usia balita atau SD di Mojokerto.

Mojokerto itu posisinya kira-kira 50 km arah Barat Laut dari Surabaya, suatu jarak yang cukup jauh, apalagi untuk tahun 1901-1912. Jika masa kecil Soekarno ada di Surabaya, maka juga tidak masuk akal pada zaman itu seorang anak kecil usia SD berangkat pulang pergi ke sekolah dari Surabaya ke Mojokerto menempuh jalanan sepi dengan sisi kiri kanan masih hutan.

Apalagi transportasi saat itu tidak seperti sekarang. Teknologi otomotif saat Soekarno usia SD masih baru berkembang, produksinya sangat terbatas dan di Jawa baru Paku Buwono X saja yang punya. Soekarno hanya seorang anak guru desa. Artinya, dikaji dari segala sisi tidak memungkinkan Soekarno melaju pergi-pulang Surabaya-Mojokerto.

Soekarno baru pindah ke Surabaya untuk menempuh pendidikan ke sekolah lanjutan Hogere Burgerschool (HBS), sekolah lanjutan tinggi setingkat SMA. Di Surabaya dia menumpang atau in de kost di rumah pemimpin nasionalistis terkemuka saat itu, Tjokroaminoto.

"...zijn verblijf ten huize van destijds meest vooraanstaande nastionalistische leider van Indonesie, Tjokroaminoto... tinggalnya di rumah pemimpin nasionalistis terkemuka saat itu, Tjokroaminoto (red)," (Paul van 't Veer, Het Vrije Volk, Sabtu 4 Desember 1965).

Dari teks ini dapat dipahami bahwa Soekarno selama di Surabaya untuk menempuh pendidikan sekolah lanjutan HBS tidak tinggal di rumah sendiri bersama orangtuanya, melainkan di rumah H.O.S. Tjokroaminoto. Suatu hal biasa kalau seorang anak harus menempuh pendidikan jauh di luar kota.

Putra kandung Soekarno sendiri, Guruh Soekarnoputra, menyebut dengan eksplisit dan jelas bahwa si Bung dilahirkan di Blitar. Blitar adalah kota kelahiran Bung Karno.

"Bung Karno, kata Guruh, tak pernah minta dimakamkan di Blitar, kota kelahirannya...," (TEMPO, 6 November 2012)

Tapi, sebagaimana dikatakan oleh Paul van 't Veer, seorang penulis biografi Soekarno: Kopstukken uit de Twintigste Eeuw (Soekarno: Tokoh Abad Ke-20), kesimpangsiuran memang ditemukan dalam biografi-biografi resmi Indonesia mengenai Soekarno.

Di mana dia dilahirkan, Bung Karno sudah mendeskripsikan tempat kelahirannya dekat Gunung Kelud, tapi pada kesempatan lain disebut Surabaya. Guruh Soekarnoputra jelas mengatakan: Blitar.

Ref

Akurasi Tempat Lahir Sukarno, Sukmawati: Lihat Otobiografi Beliau



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Putri Presiden Pertama RI Sukarno, Sukmawati Soekarnoputri, mengatakan data akurat terkait kelahiran ayahnya bisa ditelusuri di buku otobiografi beliau.
Menurutnya, akurasi dari sumber tersebut bisa dipertanggungjawabkan. "Sumber yang paling jelas terkait data kelahiran beliau ya dari otobiografinya. Sebab, itu yang beliau ceritakan sendiri. Jadi itu benar," tegasnya kepada ROL di Gedung Proklamasi, Sabtu (6/6).
Otobiograsi yang dimaksud Sukmawati adalah buku karangan penulis asal Amerika Serikat, Cindy Adams, berjudul "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Buku tersebut pertama kali terbit pada 1966.
Menurutnya, tempat dan tanggal lahir yang dipaparkan Bung Karno dalam buku tersebut bisa dijadikan rujukan atas simpang-siur akurasi kelahirannya. Dalam buku dipaparkan Bung Karno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901.
"Karena sudah jelas, merujuk kepada buku otobiografi itu saja," ucapnya.
Simpang-siur akurasi kelahiran Bung Karno mengemuka setelah Presiden Joko Widodo menyebut Kota Blitar sebagai tempat lahir beliau. Sebab, sebagian masyarakat memahami bahwa Bung Karno lahir di Surabaya.
Sebagian lainnya tetap menganggap Blitar sebagai tempat kelahiran Bapak Proklamasi itu. Sebelumnya, sejarawan menyarankan agar akurasi kelahiran Soekarno langsng dikonfirmasikan kepada pihak keluarga beliau.


http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/06/06/npiswn-akurasi-tempat-lahir-sukarno-sukmawati-lihat-otobiografi-beliau

Guruh: Sukarno Lahir Juni 1901 Bukan 1902


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun dan kota kelahiran Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno tengah menjadi perbincangan media dan masyarakat.
Hal ini berawal dari pidato Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan Soekarno lahir di Blitar. Padahal, Bapak Proklamator Indonesia itu lahir di kota Surabaya.
Sementara terkait tahun kelahiran, putra Soekarno dari pernikahannya dengan Fatmawati, Guruh Soekarnoputra, menyatakan Ayahnya lahir pada 6 Juni 1901.
"Tahun 1901," tegasnya kepada Republika saat ditanya kepastian tahun kelahiran Ayahnya, Sabtu (6/6).

Sebelumnya beredar foto yang menunjukan catatan akta, yang diduga berasal dari buku induk ITB. Dalam akta itu tercatat Sukarno lahir pada 6 Juni 1902. Hal ini berbeda dengan yang selama ini diketahui publik bahwa Proklamator itu lahir pada 1901.
Simpang-siur terkait tempat kelahiran Bung Karno, sapaan akrab Soekarno, juga sempat menjadi perbincangan usai pembacaan Pidato Presiden Jokowi, Senin (1/6) lalu.
Dalam pidato di Blitar tersebut, Jokowi menyebut tempat lahir Soekarno adalah di Blitar. Pidato ini memicu berbagai reaksi publik. Sebagian besar menyalahkan Presiden yang dinilai salah menyebutkan informasi.
Selama ini, publik memahami bahwa Soekarno lahir di Surabaya. Pengusutan akurasi data kelahiran Soekarno pun akhirnya merambah hingga ke tahun kelahirannya.


http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/06/06/npiu12-guruh-sukarno-lahir-juni-1901-bukan-1902

Gelar Honoris Causa Sukarno Dan Susilo Bambang Yudoyono


TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang masa akhir jabatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mengumpulkan 10 gelar Doctor Honoris Causa. Prestasi ini ternyata masih kalah jauh dari Presiden Sukarno, yang mampu memperoleh 26 gelar Doctor Honoris Causa.

"Wah, SBY masih kalah dengan Sukarno," kata Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung saat melihat daftar gelar Sukarno di Museum Balai Kitri, Istana Bogor, Sabtu, 18 Oktober 2014.

Ungkapan yang dilontarkan Chairul menarik perhatian sejumlah pengunjung museum. Beberapa di antara mereka tampak tersenyum, bahkan ada yang tertawa.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto juga mendengar ucapan Chairul saat sedang berkeliling museum. Dia kemudian menimpali pernyataan itu dengan mengatakan, "Beda dong, Sukarno jadi presiden 20 tahun. SBY cuma 10 tahun."

Daftar gelar Doctor Honoris Causa milik SBY
1. Doktor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Webster University St. Louis, Amerika, September 2005.
2. Doktor Honoris Causa Ilmu Politik dari Thammasat University, Bangkok, Thailand, Desember 2005.
3. Doktor Honoris Causa bidang Pertanian dari Universitas Andalas, Padang, September 2006.
4. Doktor Honoris Causa bidang Media dan Pemerintahaan dari Keio University, Tokyo, November 2006.
5. Doktor Honoris Causa dari Tsinghua University, Beijing, Maret 2012.
6. Doktor Honoris Causa dari Universiti Utara Malaysia, Desember 2012.
7. Doktor Honoris Causa bidang Kepemimpinan dan Pelayanan Publik dari Nanyang Technological University Singapura, April 2013.
8. Doktor Honoris Causa bidang Hukum Perdamaian dari Universitas Syiah Kuala Aceh, September 2013.
9. Doktor Honoris Causa dari Universitas Ritsumeikan, Jepang, September 2014.
10. Doktor Honoris Causa dari Universitas Soka, Jepang, Oktober 2014.

Gelar Doctor Honoris Causa milik Sukarno:
1. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Far Eastern University, Manila, Filipina, Januari 1951.
2. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, September 1951.
3. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Colombia University, Amerika Serikat, Mei 1956.
4. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Michigan University, Amerika Serikat, Mei 1956.
5. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari McGill University, Kanada, Juni 1956.
6. Doctor Honoris Causa Ilmu Teknik dari Berlin University, Jerman Barat, Juni 1956.
7. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Lomonosov University, USSR, September 1956.
8. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Beogard University, Yugoslavia, September 1956.
9. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Karlova University, Cekoslovakia, September 1956.
10. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Istambul University, April 1959.
11. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Warsaw University, Polandia, April 1959.
12. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Brasil University, Brasil, Mei 1959.
13. Doctor Honoris Causa Ilmu Politik dari Sofia University, Bulgaria, April 1960.
14. Doctor Honoris Causa Ilmu Politik dari Bucharest University, Rumania, April 1960.
15. Doctor Honoris Causa Ilmu Mesin, Budapest University, Hongaria, April 1960.
16. Doctor Honoris Causa Ilmu Falsafah dari Al Azhar University, Mesir, April 1960.
17. Doctor Honoris Causa Ilmu Sosial dan Politik dari La Paz University, Bolivia, Mei 1960.
18. Doctor Honoris Causa Ilmu Teknik dari Institut Teknologi Bandung, September 1962.
19. Doctor Honoris Causa Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan dari Universitas Indonesia, Februari 1963.
20. Doctor Honoris Causa Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Hasanudin, April 1963.
21.Doctor Honoris Causa Ilmu Politik dan Hukum dari Royal Khemere University, Kamboja, Januari 1964.
22. Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum dari Philippine University, Filipina, Agustus 1964.
23. Doctor Honoris Causa Ilmu Pengetahuan Politik dari Pyongyang University, Korea Utara, November 1964.
24. Doctor Honoris Causa Ilmu Dakwah dari Institut Agama Islam Negeri, Desember 1964.
25. Doctor Honoris Causa Ilmu Sejarah dari Universitas Padjajaran, Desember 1964.
26. Doctor Honoris Causa Ilmu Tauhid dari Universitas Muhammadiyah, Agustus 1965.

Sumber: http://nasional.tempo.co/read/news/2014/10/18/078615304/Siapa-Lebih-Banyak-Punya-Gelar-SBY-atau-Sukarno

Bagaimana kondisi rumah kelahiran Sukarno?



Presiden RI pertama lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901, rumah tempat kelahirannya di Kampung Pandean pun telah menjadi cagar budaya. Bagaimana kondisinya?
Sukarno lahir di sebuah rumah sederhana di Pandean gang IV no.40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya. Diatas pintu rumah dipasang plakat berwarna kuning keemasan bertuliskan "Rumah Kelahiran Bung Karno" dengan logo Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Meski rumah ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya melalui Surat Keputusan Walikota Surabaya pada 2013 lalu, tetapi tampak tidak terawat dari luar.
Cat tembok rumah yang berwarna putih tampak kusam, begitu pula dengan kusen kayu yang berwarna biru.
Ketika BBC Indonesia datang ke Kampung Pandean tersebut, keterangan seorang tetangga rumah kelahiran Bung Karno menyebutkan Jamilah pemilik rumah sedang berada di luar kota.
Azhari, seorang warga asli Kampung Pandean yang berusia lanjut, menyampaikan bahwa rumah tersebut sudah empat sampai lima kali pindah tangan kepemilikan.

Azhari mengatakan berdasarkan cerita yang dia dapat dari orang-orang tua di kawasan itu, ayah Sukarno yaitu Raden Soekemi Sosrodihardjo merupakan salah satu pendatang di kampung Pandean, dan pindah beberapa tahun kemudian dari daerah tersebut.
Sukarno remaja, menurut cerita yang didapat Azhari, kembali lagi ke kawasan Pandean dan Peneleh
"Dulu Bung Karno dulu masa kecilnya biasa-biasa saja, setelah beliau remaja, datang lagi ke daerah Pandean-Peneleh utk belajar agama, politik dan pergerakan bersama dengan HOS Cokroaminoto, di daerah ini dulu tumbuh subur organisasi pergerakan dan kepemudaan", tukas Azhari.

Penelusuran rumah Sukarno

Penelusuran rumah tempat kelahiran Sukarno dilakukan Institut Sukarno sejak 2007 lalu.
Pendiri lembaga Intitut Sukarno, Peter A Rohi mengatakan kajian dari sejumlah buku diketahui Sukarno pernah tinggal di Kampung Pandean- dan Peneleh.
"Berdasarkan buku yang kami kaji buku-buku sebelum tahun 66, disebutkan Sukarno lahir di kawasan Pandean dan pernah tinggal kawasan Pandean dan Peneleh ketika remaja, kami pun mencari informasi dari warga yang tinggal di daerah itu untuk mengkonfirmasinya," jelas Peter.

Berdasarkan keterangan dari warga setempat itulah, menurut Peter, dia mengetahui lokasi tempat Sukarno dilahirkan.
Sejak tahun 2007 lalu, Pemerintah Surabaya berupaya menelusuri letak rumah kelahiran Bung Karno dengan melakukan kajian terhadap hasil riset Institut Sukarno dan Dinas Pariwisata dan Budaya serta dokumen sejarah lainnya.
Pemerintah kota Surabaya pun menemukan rumah kelahiran Bung Karno di kampung Pandean, dan telah menetapkannya sebagai bangunan cagar budaya pada 2013 lalu, seperti dijelaskan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya, Wiwik Widayati.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyebutkan berupaya untuk membeli rumah ini, tetapi masih dalam proses penjajakan dengan pemilik rumah.
"Waktu itu ada masukan dari lembaga Institut sukarno dan memprosesnya sebagai bangunan cagar budaya, juga masukan dari anggota masyarakat," jelas Wiwik.
"Pemerintah kota mencoba telah ditetapkan jadi cagar budaya, rumah ini terpelihara sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan bangunan itu tahap yang baru dilaksanakan, kami masih proses (untuk pembelian) sampai hari ini," jelas Wiwik.



Mengapa jadi kontroversi?

 

Kota tempat kelahiran Presiden RI pertama kembali menjadi pembicaraan setelah presiden Joko Widodo dalam pidato Peringatan Hari Pancasila Sakti menyebutkan Blitar sebagai kota kelahiran Sukarno. Padahal sumber-sumber sejarah menyebutkan Sukarno lahir di Surabaya. Mengapa berbeda?
Peter A Rohi menyebutkan perbedaan tersebut terjadi karena ada kesalahan dalam menerjemahkan buku tentang sukarno yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh seorang jurnalis AS Cindy Adams.
"Selanjutnya buku itu diterjemahkan oleh tim penulis sejarah dari ABRI (TNI) dengan menyebutkan Bung Karno lahir di Blitar," jelas Peter.
Padahal dalam buku karya Cindy Adams , menurut Peter, Bung Karno mengatakan, "Karena bapak saya berpindah-pindah, maka ketika pindah ke Surabaya, di tempat itulah saya lahir," jelas Peter.
Dia menjelaskan dalam semua buku-buku biografi Bung Karno yang terbit sebelum tahun 1966, terang Peter, ditulis bahwa Bung Karno lahir di Surabaya.
Tetapi buku terjemahan karya Cindy Adams yang diterbitkan kembali pada 2007 lalu, menyebutkan Sukarno lahir di Surabaya.

 







http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150606_ind_sukarno1

Jokowi Diminta Pecat Pembuat Pidato "Soekarno Lahir di Blitar"




JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Hafisz Thohir, meminta Presiden Joko Widodo segera melakukan perombakan terhadap para pembantunya di lingkaran Istana Kepresidenan. Hal tersebut disampaikan Hafisz menanggapi pidato Jokowi yang menyebut proklamator Soekarno lahir di Blitar.
"Padahal Bung Karno lahir di Kota Surabaya. Mungkin dia slip tongue," kata Hafisz di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (4/6/2015).
Menurut Hafisz, masalah ini harus segera diklarifikasi ke publik. Pihak Istana harus menjelaskan bagaimana kesalahan penyebutan itu bisa terjadi, apakah karena kesalahan penulisan teks pidato atau kesalahan pengucapan oleh Jokowi.
"Yang jelas, dalam sejarah tata negara, Presiden tidak boleh dan tidak pernah salah. Kalaupun Presiden salah, yang patut disalahkan adalah staf ahli Presiden dan Sesneg. Inilah kelemahan tim Jokowi. Harus ada reshuffle yang mendasar," ujarnya.
Pidato Jokowi ketika memperingati hari Pancasila di Blitar, Senin (1/6/2015), ramai dibicarakan di media sosial. Sambil membaca lembaran kertas, Jokowi menyebut Blitar sebagai kota kelahiran Bung Karno.
"Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran proklamator kita, bapak bangsa kita, penggali Pancasila, Bung Karno, hati saya selalu bergetar," kata Jokowi setelah menyapa para hadirin.

http://nasional.kompas.com/read/2015/06/04/13194011/Jokowi.Diminta.Pecat.Pembuat.Pidato.Soekarno.Lahir.di.Blitar.

Sukmawati: Sukarno Lahir di Surabaya



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putri mantan Presiden Pertama RI Sukarno, Sukmawati Sukarnoputri menegaskan, ayahnya dilahirkan di Surabaya. Ia mengatakan, penelusuran akurasi tempat kelahiran Bung Karno harus merujuk kepada buku otobiografi beliau.

''Lokasi kelahiran bapak di Surabaya. Selama ini keluarga mengetahui hal itu. Kalau ada dua pendapat soal lokasi kelahiran beliau, kami tegaskan beliau lahir di Surabaya,'' kata Sukmawati, di Gedung Proklamasi, Jakarta, Sabtu (6/6).

Wanita bernama lengkap Diah Mutiara Sukmawati Sukarnoputri itu melanjutkan, Kota Blitar baru disinggahi keluarga kakeknya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, setelah tinggal di Surabaya.
"Setelah Surabaya, justru keluarga kakek sempat berpindah-pindah ke beberapa daerah lain di Jawa Timur," ujarnya.
Adik dari Megawati Sukarnoputri itu menambahkan, masyarakat hendaknya merujuk kepada sumber yang akurat jika ingin merunut akurasi tempat kelahiran Bung Karno.
"Lihat otobiografi beliau yang ditulis Cindy Adams. Di situ jelas dipaparkan lokasi kelahiran yang benar," tandasnya.
Seperti diketahui, akurasi tempat kelahiran Bung Karno menjadi perdebatan usai kesalahan penyebutan oleh Presiden Jokowi, Senin (1/6) lalu. Presiden menyebut Bung Karno lahir di Blitar.
Sebagian masyarakat menganggap Bung Karno lahir di Surabaya. Sebagian lain memahami beliau dilahirkan di Blitar.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/06/06/npimrs-sukmawati-sukarno-lahir-di-surabaya

Menelusuri Jejak Rumah Kelahiran Bung Karno

Kamar tempat lahir Sukarno

REPUBLIKA.CO.ID, Hampir semua rumah peninggalan Belanda di kawasan Jalan Pandean, Surabaya masih asli. Antara satu rumah dan rumah lainnya nyaris tak ada berbeda, bentuk, model, dan coraknya bergaya kolonial. Sejak dulu, tidak ada yang spesial di kampung itu. Namun akhir – akhir ini, warga dikejutkan dengan penelitian yang menggemparkan.
Tidak hanya bagi warga setempat, masyarakat Indonesia pun dibuat tercengang dengan penemuan bahwa rumah kelahiran Soekarno, Presiden pertama RI yang juga Sang Proklamator, berada di sebuah gang sempit yang berukuran tidak lebih dari tiga meter di Kota Pahlawan, Surabaya. Bukan di Blitar sebagaimana yang diketahui masyarakat Indonesia selama ini.
Bung Karno dilahirkan di Surabaya, tepatnya di sebuah rumah kontrakan Jalan Lawang Seketeng, sekarang berubah menjadi Jalan Pandean IV/40. Ayahnya Raden Soekemi seorang guru sekolah rakyat dan ibunya Ida Ayu Rai seorang perempuan bangsawan Bali.
“Setelah kami lakukan penelitian dan melalui kajian cukup lama, ternyata rumah kelahiran Soekarno bukan di Blitar, melainkan di Surabaya,” ujar Ketua Umum “Soekarno Institute”, Peter A Rohi.
Ukuran bangunan rumah itu 6×14 meter. Terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tengah yang biasa ditempati keluarga bersantai, dan dua kamar. Di belakang ada dapur yang terdapat juga sebuah tangga kayu untuk naik ke lantai dua. Di lantai atas tersebut, hanya digunakan untuk menjemur pakaian.
“Dari dulu, ya seperti ini. Kami tidak mengubahnya, atau merenovasi,” ujar Siti Djamilah, pemilik rumah saat ini.
Ia mengaku menempati bangunan itu sejak 1990. Ketika itu, ia ikut kedua orangtuanya. Kakak Djamilah dan suaminya, H. Zaenal Arifin juga menetap rumah itu.
Kemudian, 1998 Djamilah menikahi Choiri. Setelah kedua orang tua Djamilah meninggal, mereka hanya tinggal berempat. “Kami tidak menyangka bahwa rumah ini adalah tempat kelahiran Bung Karno. Sebuah kebanggaan dan anugerah karena kami tinggal di rumah tokoh kelas dunia. Tidak hanya presiden, tapi seorang yang patut menjadi teladan bangsa Indonesia,” tutur Choiri, suami Djamilah.
“Kami sudah melalui kajian dan penelitian panjang sejak masa reformasi. Bahkan penelitian juga kami lakukan di Belanda. Buku-buku sejarah masa lalu juga membuktikan bahwa di Surabaya inilah Bung Karno dilahirkan. Syukurlah sekarang bisa diresmikan,” ujar Peter A. Rohi.
“Di Jakarta ada prasasti Barack Obama, padahal dia Presiden Amerika Serikat. Masak Presiden Indonesia tidak ada prasastinya? Kami memasangnya di rumah kelahiran Soekarno,” katanya, menambahkan.
Pasang Prasasti
Dijelaskan Peter, pemasangan prasasti digelar 6 Juni 2011 karena disamakan dengan tanggal kelahiran Soekarno, yakni 6 Juni 1901. Peter menyayangkan sikap pemerintah yang menyatakan bahwa Soekarno lahir di Blitar. Padahal, kata dia, berbagai buku-buku sejarah dan arsip nasional ditegaskan bahwa Soekarno dilahirkan di Surabaya.
Ia berani menunjukkan puluhan koleksi buku sejarah yang menuliskan kelahiran Soekarno. Di antaranya, buku berjudul “Soekarno Bapak Indonesia Merdeka” karya Bob Hering, “Ayah Bunda Bung Karno” karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto tahun 2002, “Kamus Politik” karangan Adinda dan Usman Burhan tahun 1950.
Lainnya, “Ensiklopedia Indonesia” tahun 1955, “Ensiklopedia Indonesia” tahun 1985, dan “Im Yang Tjoe” tahun 1933 yang sudah ditulis kembali oleh Peter A Rohi dengan judul “Soekarno Sebagi Manoesia” pada tahun 2008.
“Bahkan mantan Kepala Perpustakaan Blitar sudah mengakui bahwa Soekarno tidak dilahirkan di Blitar, melainkan di Surabaya,” tuturnya. Pihaknya berharap, ke depan masyarakat Indonesia lebih mengetahui dan mengakui bahwa kota kelahiran Soekarno yang selama ini dikenal adalah keliru.

“Dulu pascatragedi G30S/PKI, semua buku sejarah ditarik dan diganti di Pusat Sejarah ABRI pimpinan Nugroho Notosusanto. Tapi saya heran, kenapa ada pergantian kota kelahiran Soekarno? Semoga pemerintah ke depan sudah mengakui bahwa lahirnya presiden pertama Indonesia ada di Surabaya,” papar Peter.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini juga mengaku sangat yakin bahwa Bung Karno bukan dilahirkan di Blitar. Pihaknya juga telah mengirim surat ke Pemerintah Pusat untuk meluruskan persoalan ini dan optimistis pemerintah mengakuinya.
“Kami masih menunggu respon dari Pemerintah Pusat. Tapi tahun 2010, walikota Surabaya saat itu, Bambang DH, sudah menandatangani prasasti sekaligus mengirimkan surat ke pemerintah pusat,” tutur Tri Rismaharini.
Jadi Museum
Menurut Risma, pihaknya sudah menemui keluarga pemilik rumah, Choiri, agar bersedia menjualnya dan akan dijadikan museum atau tempat cagar budaya.
“Saya sudah memberikan tugas kepada Dinas Pariwisata Kota Surabaya untuk negosiasi harga dengan pemilik rumah. Nantinya rumah kelahiran Bung Karno akan dijadikan museum dan untuk kawasan sejarah,” ujar Tri Rismaharini ketika ditemui di sela pemasangan prasasti dan peresmian rumah kelahiran Bung Karno, Senin (6/6).
Sayang, orang nomor satu di Surabaya tersebut enggan menyebutkan anggaran yang dikeluarkan. “Harga masih negosiasi. Saya sudah minta ke Bu Wiwik (Kepala Dinas Pariwisata) untuk mengalokasikan dana dari Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) Kota Surabaya. Lebih bagus lagi kalau masih ada barang-barang aslinya, agar bisa menceritakan ke anak-anak bahwa di Surabaya Bapak Proklamator dilahirkan,” tutur Risma.
Sementara itu, keluarga Bung Karno, Prof. Haryono Sigit, mengakui bahwa orangtua Bung Karno pernah tinggal di rumah itu. Ia juga menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk mengelola rumah tersebut. “Mau diapakan rumah itu, bukan wewenang saya. Saya serahkan ke Pemkot,” tukas mantan Rektor ITS Surabaya tersebut.
Direktur Utama Surabaya Herritage, Freddy H Istanto mengatakan, jika nantinya rumah kelahiran Soekarno dijadikan museum maka yang harus diperhatikan adalah sistem pengelolaannya.
Choiri, selaku pemilik rumah mengatakan, secara prinsip pihaknya tidak mempermasalahkan dan siap menjual rumahnya ke Pemkot Surabaya. Terkait harga, ia mengaku masih melakukan negosiasi untuk menentukan harga yang pas. “Tapi kami masih banyak saudara kok di Surabaya, sambil mencari rumah, kami mungkin tinggal di rumah saudara dulu,” timpal Djamilah.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/senggang/sosok/11/06/10/lmkiso-sebuah-rumah-kontrakan-dan-putera-sang-fajar-menelusuri-jejak-rumah-kelahiran-bung-karno-di-surabaya

Tempat Lahir Soekarno Bukan Di Kota Blitar







Ada sebuah fakta menarik yang baru diungkap tentang tempat kelahiran Bapak Proklamator Indonesia, Soekarno. Mendiang pemimpin revolusi tersebut ternyata tidak lahir di Blitar seperti yang diajarkan selama ini di sekolah-sekolah, namun lahir di Kota Pahlawan, Surabaya.
Dikutip dari id.custom.yahoo.com, Ketua umum ‘Soekarno Institute’, Peter A Rohi mengatakan, “Setelah kami lakukan penelitian dan melalui kajian cukup lama, ternyata rumah kelahiran Soekarno bukan di Blitar, melainkan di Surabaya”, ujarnya.
“Kami sudah melalui kajian dan penelitian panjang sejak masa reformasi. Bahkan penelitian juga kami lakukan di Belanda. Buku-buku sejarah masa lalu juga membuktikan bahwa di Surabaya inilah Bung Karno dilahirkan. Syukurlah sekarang bisa diresmikan,” ujarnya lebih lanjut.
Untuk melengkapi referensi temuannya tersebut, Peter A Rohi menunjukkan koleksi buku-buku sejarah yang menuliskan kelahiran Soekarno. Beberapa judulnya adalah,
“Soekarno Bapak Indonesia Merdeka” karya Bob Hering,
“Ayah Bunda Bung Karno” karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto tahun 2002
“Kamus Politik” karangan Adinda dan Usman Burhan tahun 1950.
“Ensiklopedia Indonesia” tahun 1955,
“Ensiklopedia Indonesia” tahun 1985,
“Im Yang Tjoe” tahun 1933 yang sudah ditulis kembali oleh Peter A Rohi dengan judul “Soekarno Sebagi Manoesia” pada tahun 2008.
“Bahkan mantan Kepala Perpustakaan Blitar sudah mengakui bahwa Soekarno tidak dilahirkan di Blitar, melainkan di Surabaya,” tuturnya. Pihaknya berharap, ke depan masyarakat Indonesia lebih mengetahui dan mengakui bahwa kota kelahiran Soekarno yang selama ini dikenal adalah keliru.
Rumah tersebut terletak di Jalan Lawang Seketeng yang saat ini menjadi Jalan Pandean IV/40. Bangunan tersebut berukuran 6×14 meter yang terdiri dari 1 ruang tamu, 1 ruang tengah, 2 kamar dan 1 dapur. Ada juga bagian atas bangunan yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian.
Pemilik bangunan saat ini adalah Siti Djamilah. Beliau menempati bangunan tersebut sejak 1990 bersama dengan sang kakak dan suami, H. Zaenal Arifin. Menurut Bu Djamilah, sejak menempati rumah tersebut yang bersangkutan tidak pernah merubah atau merenovasi bangunan, sehingga tetap dibiarkan apa adanya.
Selanjutnya, di rumah tersebut akan dipasang prasasti untuk penanda bahwa ada seorang tokoh besar Indonesia yang lahir disitu.
“Di Jakarta ada prasasti Barack Obama, padahal dia Presiden Amerika Serikat. Masak Presiden Indonesia tidak ada prasastinya? Kami memasangnya di rumah kelahiran Soekarno,” tambah Peter A. Rohi.
Prasasti tersebut ditandangani oleh Walikota Surabaya sebelumnya, Bambang DH pada tahun 2010. Karena pada saat itu Walikota Surabaya telah mengetahui tentang penemuan ini dan telah berkirim surat kepada pemerintah pusat bersamaan dengan pembuatan prasastinya. Pemasangan prasasti telah dilakukan pada 6 Juni 2011 (disesuaikan dengan tanggal kelahiran Soekarno, 6 Juni 1901) oleh Walikota Surabaya saat ini, Tri Rismaharini. Ibu Risma sekaligus menandatangani prasasti tempat Soekarno pernah bersekolah di Surabaya.

(sumber; http://id.custom.yahoo.com/paling-indonesia/tradisi-unik-artikel/article-menelusuri-jejak-rumah-kelahiran-bung-karno-315, foto credit; detik.com)

Bung Karno Lahir di Surabaya, Bukan di Blitar

Sukarno

[SURABAYA] Presiden pertama Indonesia, Soekarno (Bung Karno), dilahirkan di Jalan Pandean IV/40 Surabaya, Jawa Timur, bukan di Blitar seperti diketahui masyarakat luas selama ini.  

Ketua Umum "Soekarno Institute", Peter A Rohi, di Surabaya, Senin, mengatakan pihaknya akan memasang prasasti di rumah itu sebagai tanda bahwa Soekarno dilahirkan di Surabaya. 

 "Di Jakarta ada prasasti Barack Obama, padahal dia Presiden Amerika Serikat yang merupakan negara lain. Mosok di Indonesia tidak ada prasastinya? Kami memasangnya di rumah kelahiran Soekarno," ujarnya.  

Ketika ditemui di kediamannya di kawasan Jalan Kampung Malang, Surabaya, ia menjelaskan prasasti itu akan dibuka dan diresmikan langsung oleh Prof Ir Hariono Sigit yang merupakan putra dari Utari atau istri pertama Soekarno.  

Dalam prasasti tertera gambar Soekarno dan tulisan penegasan rumah kelahirannya.  

Menurut dia, pemasangan prasasti digelar pada 6 Juni 2011 karena disamakan dengan tanggal kelahiran Soekarno, yakni 6 Juni 1901. Mantan presiden yang akrab disapa Bung Karno tersebut dilahirkan di Surabaya, tepatnya di sebuah rumah kontrakan Jalan Lawang Seketeng, yang sekarang berubah menjadi Jalan Pandean IV/40, Surabaya.  

Ayah Bung Karno adalah Raden Soekemi merupakan seorang guru sekolah rakyat dan ibunya adalah Idayu Rai yang merupakan seorang perempuan bangsawan Bali.  

"Sebelum dipasang, prasasti akan diarak dari Jalan Mawar hingga ke Jalan Pandean. Sengaja kami pilih Jalan Mawar, karena di sana merupakan tempat atau pusat upacara laskar pemuda revolusi zaman penjajahan. Di sana dulu juga ada rumah Mayjend Soengkono, Bung Tomo, serta Gubernur Suryo," terang dia.  

Peter juga menyayangkan sikap pemerintah yang menyatakan bahwa Soekarno lahir di Blitar, padahal berbagai buku-buku sejarah dan arsip nasional mencatat bahwa Soekarno dilahirkan di Surabaya.  

Ia juga menunjukkan puluhan koleksi buku sejarah yang menuliskan kelahiran Soekarno, di antaranya buku berjudul "Soekarno Bapak Indonesia Merdeka" karya Bob Hering, "Ayah Bunda Bung Karno" karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto tahun 2002, dan "Kamus Politik" karangan Adinda dan Usman Burhan tahun 1950.  

Selain itu, buku berjudul "Ensiklopedia Indonesia" tahun 1955, "Ensiklopedia Indonesia" tahun 1985, dan "Im Yang Tjoe" tahun 1933 yang sudah ditulis kembali oleh Peter A Rohi dengan judul "Soekarno Sebagi Manoesia" pada tahun 2008. 

 "Bahkan mantan Kepala Perpustakaan Blitar sudah mengakui bahwa Soekarno tidak dilahirkan di Blitar, melainkan di Surabaya," tuturnya.  

Pihaknya berharap, ke depan masyarakat Indonesia lebih mengetahui dan mengakui bahwa kota kelahiran Soekarno yang selama ini dikenal adalah keliru.  

"Dulu pascatragedi G30S/PKI, semua buku sejarah ditarik dan diganti di Pusat Sejarah ABRI pimpinan Nugroho Notosusanto. Tapi saya heran, kenapa ada pergantian kota kelahiran Soekarno? Semoga pemerintah ke depan sudah mengakui bahwa lahirnya presiden pertama Indonesia ada di Surabaya," papar Peter. [Ant/L-9]  

sumber: http://sp.beritasatu.com/home/bung-karno-lahir-di-surabaya-bukan-di-blitar/7356

Saturday, June 6, 2015

UGM Peringati 60 Tahun Pemberian Gelar Doktor Honoris Causa Ir. Soekarno

Universitas Gadjah Mada

YOGYAKARTA “ Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, Universitas Gadjah Mada berencana akan mengadakan seminar nasional "Pancasila untuk Indonesia dan dunia", pada hari Senin, 19 September 2011 di Balai senat UGM.

Ketua panitia seminar Prof. Dr. Ir. Irham, M.Sc kepada wartawan mengatakan seminar ini dimaksudkan untuk membangkitkan kembali ingatan publik tentang momen sejarah penting tentang pidato monumental tentang konsep pancasila sebagai dasar filsafat Negara yang dilakukan saat prosesi penganugerahan gelar doktor honoris causa bidang ilmu hukum kepada Ir Soekarno pada 19 September 1951 di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta.

Saat itu UGM menganugerahkan gelar doktor honoris causa dalam bidang ilmu hukum kepada Ir. Soekarno yang dianggap berjasa sebagai penggali pancasila,” kata Irham, Rabu (14/9).

Dia menambahkan, dalam upacara penganugerahan doktor honoris causa itu, Prof. Notonagoro selaku promotor membacakan naskah pidato yang sangat monumental, "Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia". Menurut Irham, naskah pidato itu hingga saat ini banyak dikutip dan diterapkan oleh Negara dalam meletakkkan dasar-dasar filsafat Negara.

Ketua Tim Ahli PSP UGM Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A (K)., menuturkan pemberian gelar honoris causa dari Universitas Gadjah Mada kepada Ir. Soekarno tidak asal sembarang. Dipertimbangkan secara matang dengan melihat kondisi psikologis rakyat Indonesia ketika itu. Melalui mekanisme usulan dari senat universitas gadjah mada serta menunjuk Prof. Notonagoro selaku promotor, akhirnya memutuskan Ir. Soekarno layak menerima gelar tersebut atas dedikasinya sebagai pencipta pancasila. Meski dalam upacara penganugerahan, Soekarno enggan disebut sebagai "pencipta", melainkan sebagai "penggali" pancasila. Pemberian gelar honoris causa ini merupakan untuk pertama kalinya dilakukan oleh UGM, katanya.

Sutaryo menambahkan, Soekarno tidak hanya dianggap berjasa membidani lahirnya pancasila, namun ia dinilai konsisten mengamalkan nilai-nilai pancasila ketika itu. Sutaryo menyebutkan, salah satu kegiatan rutin yang dilakukan Soekarno sewaktu itu adalah mengajarkan kursus singkat tentang pancasila di kalangan para pemudi. Kursus singkat ini berlangsung di kompleks istana kepresidenan Yogyakarta.

Meski hanya berlangsung dua jam, diikuti 400-an perempuan dan ibu-ibu pedagang pasar dan buruh gendong,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)

http://www.ugm.ac.id/en/berita/3655-ugm.peringati.60.tahun.pemberian.gelar.doktor.honoris.causa.ir.soekarno

Bung Karno Dan Pidato Honouris Causanya

BUNG KARNO DAN PIDATO HONOURIS CAUSANYA


Mungkin tidak berlebihan bila mengawali tulisan ini, penulis mengajak kepada segenap pembaca untuk mengenang sejenak Ir Soekarno, putra sang fajar, sekaligus sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini sengaja penulis sodorkan kehadapan pembaca karena pada bulan Juni merupakan bulan kelahiran beliau. Dengan ajakan ini pula merupakan salah satu wujud ungkapan rasa hormat, rasa terima kasih kita terhadap beliau atas perjuangannya melepaskan republik ini dari lingkungan penjajah.
Seperti diketahui dalam berbagai buku dijelaskan bahwa beliau dilahirkan pada hari Kamis Pon tanggal 18 Sapar 1931 Windu Sanjaya, bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1901 di Lawang Saketeng, Surabaya. Beliau dijuluki sebagai putra sang fajar, karena ia dilahirkan di kala fajar menyingsing pukul 05.30 pagi. Menurut kepercayaan sebagian orang Jawa bahwa orang yang dilahirkan pada saat matahari terbit nasibnya akan baik, semisal dengan mentari pagi menyinari alam.
Itu sebabnya, dikala ibunya menimang Soekarno, ia berkata ” kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan akan mejadi baik. Jangan lupakan itu, jangan sekali­-kali kau lupakan nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar”.
Pada masa kecilnya, bung Karno sehari-hari dipanggil Koesno. Koesno lahir dari seorang ibu bernama Ida Nyoman Rai, seorang keturunan bangsawan kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Sedang bapaknya bernama Raden Sukemi Sosrodihardjo keturunan Sultan Kediri.
Koesno (Bung Karno) pada masa kanak-­kanaknya tergolong anak yang penyakitan. Karena seringnya sakit sehingga badannya kurus kering, dan bila ia sakit tidak ada yang bisa mengobatinya kecuali `eyangnya’ (kakeknya) sendiri, yakni Pak Raden Hardjodikromo. Itu sebabnya bila Koesno terserang penyakit, Raden Sukemi Sosrodihardjo membawanya ke Tulung agung , tempat eyangnya tinggal. Di sanalah Koesno diobati sampai sembuh.
Pada masa kanak-kanak, Koesno ini terlalu dimanja oleh eyangnya, karena Koesno selain cucu yang terkecil juga laki-laki. Karena itu ia amat `disayang , dicintai dan dimanja oleh eyangnya. Karena kesayangan dan kecintaan eyangnya inilah sehingga hanya Koesnolah satu-satunya cucu` yang boleh minum kelebihan kopi eyangnya.
Koesno (Bung Karno) pada masa kanak-kanak tergolong anak yang nakal. Suka mengganggu teman-temannya yang sedang bermain dan gemar bergulat. Jika bermain atau berkelahi, beliau tidak mau kalah dengan teman-temannya yang lain. Meskipun ia nakal di mata kawan-kawannya, ia tetap disenangi karena Koesno tergolong anak yang pintar dan berani , sehingga kawan-kawannya tunduk kepadanya.
Seperti halnya dengan anak-anak lainnya , Koesno gemar bermain dengan kawan-kawannya. Seperti, lari-lari, berburu belalang, menangkap capung , mandi di sungai , naik kerbau-dan memanjat pohon. Namun dari seluruh kegemaran di atas, menangkap ikan dan menonton wayang adalah kegiatan yang paling digemarinya. Demikian sebintik cuplikan masa kecil beliau.
Ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidupnya manusia, atau praktek hidupnya bangsa, atau praktek hidupnya dunia kemanusiaan. Memang sejak muda, saya ingin mengabdi kepada praktek hidup manusia, bangsa dan dunia kemanusiaan itu. Itulah sebabnya saya selalu mencoba menghubungkan ilmu dan amal, menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan, sehingga pengetahuan itulah untuk perbuatan, dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. Emu dan amal, kennis dan daad, harus wahyu mewahyui satu sama lain. – Ketika Soekarno menjadi presiden pertama di republik ini, dia banyak menerima penghargaan. Salah satu diantaranya adalah penghargaan di bidang akademik, yakni Dr Honoris Causa. Dalam penerimaan gelar ini, beliau banyak memberikan pikiran segar kepada kaum akademisi melalui pidato-pidatonya. Demikian besar makna dibalik pidato beliau itu, maka penulis ingin menyajikan cuplikan pidato tersebut melalui tulisan ini dengan harapan dapat menjadi inspirasi bagi kita dalam melanjutkan perjuangannya. Adapun beberapa cuplikan pidato beliau ketika menerima penghargaan sebagai doktor honoris causa di perguruan tinggi sebagai berikut:
Ketika beliau menerima gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum pada Universitas Gajah mada Yogyakarta tanggal 19 September 1951, beliau berkata dalam pidatonya yang berjudul Ilmu dan Alam, bahwa, “Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidupnya manusia, atau praktek hidupnya bangsa, atau praktek hidupnya dunia kemanusiaan. Memang sejak muda, saya ingin mengabdi kepada praktek hidup manusia, bangsa dan dunia kemanusiaan itu. Itulah sebabnya saya selalu mencoba menghubungkan ilmu dan amal menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan, sehingga pengetahuan itulah untuk perbuatan, dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. Ilmu dan amal, kennis dan daad, harus wahyu mewahyui satu sama lain. “
Demikian pun kala itu menerima gelar doktor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin IAIN Jakarta pada tanggal Z Desember 1964, Beliau mengajakpada kaum akademisi, tokoh agama, dan santri untuk membuka wawasan dan tidak eksklusif. Dalam pidato beliau yang berjudul `Temukan Kembali Api Islam’, beliau mengajak kepada segenap kaum cendekiawan Islam untuk selalu membuka wawasan yang luas dalam menapaki hari-hari mendatang, sebab tanpa wawasan yang luas_para cendekiawan muslim akan menyempitkan ajaran Islam yang universal itu. Karena itu melalui pidatonya beliau berkata : “Lepaskan saudara punya jiwa, juga daripada suasana pengertian pesantren itu. Hanya dengan jalan demikianlah, anak­-anakku, engkau bisa mengerti, bahwa Islam itu adalah agama universal. Tetapi jikalau engkau tetap mendekam di pesantren, bukan jasmaniah saja mendekam di pesantren, tetapi juga engkau punya mind akan tetap terkurung di dalam pesantren itu, engkau tidak akan mengerti bahwa agama Islam itu benar-benar adalah agama yang bisa diterapkan di mana-mana, bahwa agama Islam itu adalah agama universal.”
Dari pidato ini jelas sekali menunjukan bahwa betapa Bung Karno adalah sosok pemimpin yang Islami dan berwawasan universal. Dalam pidato penerimaan gelar itu beliau menekankan betapa perlunya diadakan pembaharuan untuk menemukan kembali api Islam yang kala itu apinya redup di republik ini. Itu sebabnya beliau menghimbau agar umat Islam mempelajari sepak terjang tokoh-tokoh pembaharuan Islam sekaligus mengajak pada seluruh santri yang belajar di Pesantren untuk tidaknya mempelajari buku-buku Fiqih tetapi juga para santri harus mengetahui dan mengikuti perkembangan dunia di sekitarnya.
Lalu bila demikian halnya mungkinkah kita masih patut untuk meragukan keyakinan, kredibilitas, pengabdian, dan prestasinya kepada bangsa dan republik ini ? Jawabnya tentu bergantung pada sudut pandang kita masing-masing. Namun yang Jelas dan pasti beliau telah tiada> beliau telah berhasil melepaskan republik ini dari kungkungan penjajahan, beliau telah mengukir berbagai sejarah di republik ini, sekaligus beliau telah mensejajarkan republik ini dengan negara lain. Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 merupakan salah satu bukti sejarah monumental yang telah diukir oleh Beliau dalam mengangkat harkat dan martabat republik ini untuk sejajar dengan negara lain. Bukan itu saja bahkan dengan keberanian menjadi tuan rumah pelaksana Konferensi Asia-Afrika tersebut merupakan bukti nyata bahwa Bung Karno adalah pemimpin besar yang dihormati dan disegani di dunia Internasional.
Sebagai penyambung lidah rakyat, pemimpin besar revolusi, proklamator kemerdekaan republik Indonesia, Bung Karno dalam salah satu pidatonya mengajak pada segenap rakyatnya agar tidak mudah melupakan sejarah. Hal itu dikemukakan dengan sebuah istilah yang manis yakni Jas Merah’ (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Makna ungkapan ini sangat mendalam karena sungguh tidak sedikit orang yang sering mengabaikan dan melupakan sejarah.
Sungguh ungkapan ini sarat dengan makna ajakan. Beliau seolah-olah berkata pada kita semua bahwa, “jangan sekali-kali mudah melupakan orang yang pernah membuat sejarah dan melupakan orang yang pernah berjasa. Baik berjasa pada diri kita, pada keluarga kita, pada daerah kita dan pada republik kita yang tercinta ini

sumber: https://doktorpaisal.wordpress.com/2009/08/04/bung-karno-dan-pidato-honouris-causanya/

Gelar Honoris Causa Sukarno




Doctor Honoris Causa adalah gelar yang tak asing lagi bagi para pemimpin negara. Pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima gelar kehormatan tersebut untuk kesekian kalinya, yakni dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Dari sekian presiden dan pemimpin dunia, Bung Karno barangkali yang terbanyak mendapat gelar Doctor Honoris Causa. Sang proklamator dianugerahi 26 gelar Doctor Honoris Causa dari 7 universitas dalam negeri dan 19 universitas luar negeri.

"Gelar Doctor Honoris Causa atau doktor kehormatan diberikan kepada seseorang karena dinilai berjasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia melalui karya-karyanya yang luar biasa. Tidak sembarang orang bisa menerima gelar akademis ini, dan tidak semua perguruan tinggi bisa menganugerahkan doktor kehormatan," kata Kepala Ruang Pengendali dan Analisis Informasi (Situation Room) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Prananda Prabowo, kepada merdeka.com, Senin (23/9).

Kepada merdeka.com, anak kedua Megawati Soekarnoputri ini membeberkan sejumlah data soal penerimaan Doctor Honoris Causa oleh sang kakek. Data ini dia kumpulkan lewat pengarsipan naskah-naskah Bung Karno yang memang ia geluti.

Berikut ulasan tertulis Prananda:

Bung Karno mendapat gelar Doctor Honoris Causa untuk bidang ilmu yang berbeda-beda. 16 untuk bidang ilmu hukum, 3 untuk bidang ilmu kemasyarakat, 3 untuk ilmu teknik, 3 untuk bidang ilmu agama Islam, dan 1 untuk ilmu sejarah.

Di antaranya dari Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, Institut Agama Islam Negeri Jakarta, Universitas Hasanuddin, Istanbul University (Istanbul/Turki), Brazil University (Rio de Janeiro/Brazil), Michigan University (Michigan/USA), dan Al-Azhar University (Kairo/Mesir).

Setiap kali dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa Bung Karno selalu bertanya,
apakah dirinya pantas diberi kehormatan sebesar itu. Menurut Bung Karno, dirinya mempunyai perhatian khusus bila dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari universitas dalam negeri. Untuk itu, beliau berharap pemberian gelar tersebut bukan dimaksudkan menjadi ajang gagahan bagi si penerima dan sekadar sanjungan belaka dari si pemberi.

Bung Karno juga menyadari sebagian gelar Doctor Honoris Causa yang diberikan universitas luar negeri kepada dirinya dalam rangka mempererat hubungan negara tersebut dengan Indonesia.

[...] memang ada yang memberi gelar Doctor Honoris Causa kepada saya itu, sekadar untuk kehormatan, sekadar untuk hubungan politik [...], kata Bung Karno saat menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, pada tanggal 2 Desember 1964.

Bung Karno pertama kali mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Far Eastern University-Manila/Philipina pada tanggal 30 Januari 1951. Sedangkan gelar terakhirnya (26) diperoleh dari Universitas Muhammadiyah, Jakarta dalam bidang Falsafah Ilmu Tauhid pada tanggal 3 Agustus 1965.

Tahun 1956 merupakan tahun terbanyak Bung Karno dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa. Bulan Mei sampai September beliau memperoleh 6 gelar dari universitas luar negeri. Dari Columbia University-New York/USA, Michigan University-Michigan/USA, McGill University-Montreal/Kanada, Berlin University-Berlin Barat/Jerman Barat, Lomonosov University-Moskow/USSR, dan Beograd University-Belgrado/Yugoslavia.

Agaknya tahun 1956 menjadi tahun terbanyak Bung Karno dianugerahi gelar Doctor
Honoris Causa berkaitan dengan keberhasilan beliau menggalang kekuatan Asia-Afrika dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung, pada tahun 1955. Dr. Grayson Kirk, president Columbia University, saat memberikan gelar Doctor Honoris Causa Doctor of Law memperkenalkan Bung Karno sebagai a political pioneer of a great frontier of today and tomorrow. Sementara itu, Berlin University menilai Bung Karno berhasil membuat jembatan antara bangsa-bangsa (a bridge between nations).

Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung, tanggal 18-25 April 1955, mencapai kesuksesan besar mempersatukan sikap dan menyusun pedoman kerja sama di antara bangsa-bangsa Asia-Afrika. Konferensi ini menghasilkan deklarasi yang dikenal dengan sebutan Dasasila Bandung, suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.

Di pembukaan Konferensi Asia Africa, Bung Karno menyampaikan pidato yang berjudul: Mari Kita Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru (Let A New Asia and A New Africa Be Born). Beliau mengatakan terharu atas kedatangan 28 pemimpin Asia-Afrika, Inilah konferensi antar benua yang pertama dari bangsa-bangsa berkulit berwarna di sepanjang sejarah umat manusia!

Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia-Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!


Daftar 26 Gelar Doctor Honoris Causa Bung Karno

1. 30 Januari 1951, Ilmu Hukum, Far Eastern University, Manila, Filipina
2. 19 September 1951, Ilmu Hukum, Univ. Gadjah Mada, Indonesia
3. 24 Mei 1956, Ilmu Hukum, Columbia University, Amerika Serikat
4. 27 Mei 1956, Ilmu Hukum, Michigan University, Amerika Serikat
5. 8 Juni 1956, Ilmu Hukum, McGill University, Kanada
6. 23 Juni 1956, Ilmu Teknik, Berlin University, Jerman Barat
7. 11 September 1956, Ilmu Hukum, Lomonasov University, Moskow, USSR
8. 13 September 1956, Ilmu Hukum, Beograd University, Belgrado, Yugoslavia
9. 23 September 1959, Ilmu HUkum, Kariova University, Praha, Cekoslowakia
10. 27 April 1959, Ilmu Hukum, Istanbul University, Turki
11. 30 April 1959, Ilmu Hukum, Warsaw University, Polandia
12. 20 Mei 1959, Ilmu Hukum, Brasil University, Ro de Jeneiro, Brasil
13. 11 April 1960, Ilmu Politik, Sofia University, Sofia, Bulgaria
14. 12 April 1960, Ilmu Politik, Bucharest University, Rumania
15. 17 April 1960, Doctor of Engineering, Budapest University, Polandia
16. 24 April 1960, Ilmu Filsafat, Al Azhar University, Kairo, Mesir
17. 5 Mei 1960, Ilmu Sosial dan Politik, La-Paz university, Bolivia
18. 13 September 1962, Ilmu Teknik, ITB, Indonesia
19. 2 Februari 1963, Ilmu Kemasyarakatan, UI, Indonesia20. 29 April 1963, Hukum Politik dan HI, Unhas, Indonesia
21. 14 Januari 1964, Ilmu Hukum dan Politik, Royal Khmer University, Phnompenh, Kamboja
22. 2 Agustus 1964, Ilmu Hukum, University of the Philippines, Manila, Filipina
23. 3 November 1964, Ilmu Politik, Pyongyang University, Korea Utara
24. 2 Desember 1964, Ilmu Ushuluddin, IAIN Jakarta, Indonesia
25. 23 Desember 1964, Ilmu Sejarah, Unpad, Indonesia
26. 3 Agustus 1965, Filsafat Ilmu Tauhid, Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Indonesia

Sumber:
http://www.merdeka.com/peristiwa/prananda-prabowo-bicara-doctor-honoris-causa-bung-karno.html

Saudara Rektor, Saudara Promotor

Berikut ini suatu file dari teks pidato yang beredar di socmed, isinya entah betul entah salah:


Saudara Rektor,
Saudara Promotor
Saudara-saudara sekalian,

Lebih dahulu satu koreksi ketjil kepada Rektor ;  ditulis dalam piagam jang tadi dibatjakan, bahwa saja dilahirkan bertanggal 6 Djuni 1901 di Blitar. Itu salah. Saja dilahirkan di Surabaja, djadi saja arek Surobojo. (Ketawa dan tepuk tangan dari hadlirin).
Saudara-saudara sekalian,
Ini adalah penggelaran Doctor Honoris Causa jang ke-25. Saja tanja kepada hadlirin dan hadirat, perlu apa tidak saja batjakan lagi Universitas-universitas 24 jang terdahulu jang telah menggelari saja Doctor Honoris Causa itu? Kalau perlu lantasa saja batjakan, kalau tidak perlu saja tidak batjakan.

(Hadlirin: Perlu dibatjakan!)

Jah, sabar. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tudjuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, duabelas, tigabelas, empatbelas, limabelas, enambelas, tudjuhbelas, delapanbelas,

Catatan
Teks tersebut nampaknya diberikan ketika menerima gelar Honoris Cause ke-25. Menurut daftar gelar yang diterima Sukarno, gelar ke 25 didapat pada 23 Desember 1964, di Ilmu Sejarah, Unpad, Indonesia. Dokumen pidato itu mestinya ada di perpustakaan berikut ini: "

Memberi arti pada sejarah; Pidato ketika menerika Gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Sejarah Unpad Bandung, 23 Desember 1964 (Kumpula"
Jadi kalau mau diverifikasi isinya bisa dicek di perpustakaan.


Saat-saat Terakhir Bung Karno Setelah Terusir dari Istana Negara

Bung Karno



Kisah nyata :
SAAT-SAAT TERAKHIR BUNG KARNO SETELAH TERUSIR DARI ISTANA NEGARA.
"Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1967)
Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dam MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.
Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!".
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu".
Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno,
Bung Karno lalu melangkah ke arah ruang tamu Istana, disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan karena para ajudan bung karno sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara.
Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.
"Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". tegas bung karno kepada ajudannya.
Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kami memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya".
Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..."
Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan.
Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara.
Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar.
Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Maulwi Saelan ( pengawal terakhir bung karno ) dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan.
"Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak.
Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman.
Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi.
Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri gadis Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo.
Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku dengan logat betawi kental.
Bung Karno dengan tersenyum senang berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno.
Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat ....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah.
Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!...
Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri.
Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis.
Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden" kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya.
Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya.
"Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggenggam tangan Rachma lalu dengan menggenggam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto.
"Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawar di Wisma Yaso.
Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi.
Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapikan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno.
Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar mardjono hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.
Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberapa orang diketahui diceritakan nekat membebaskan Bung Karno.
Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.
Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak.
Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung Karno...!!!!!"
Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik.
Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau.
Ia berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.
Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno.
"Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" ujar istri bung hatta.
Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kami itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini".
Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.
Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah.
Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil.
Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan...🙏🙏

sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10153375373155816&set=a.10151935649810816.1073741828.815285815&type=1&theater

Ini Bukti Otentik Sukarno Lahir di Surabaya


http://historia.id/persona/ini-bukti-otentik-sukarno-lahir-di-surabaya

Raden Soekarno



Presiden Sukarno lahir di Surabaya, bukan di Blitar. Sebuah buku induk mahasiswa ITB Bandung menguatkan bukti itu.

MENDADAK masyarakat dihebohkan oleh pidato Presiden Jokowi yang salah menyebut tempat kelahiran Presiden Sukarno. Pidato tersebut disampaikan di Alun-Alun Blitar, Jawa Timur dalam rangka Hari Pancasila, 1 Juni kemarin.
"Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran Proklamator kita, Bapak Bangsa kita, Bung Karno, hati saya selalu bergetar," kata Jokowi dalam pidatonya.
Kontan para pengguna media sosial pun ramai-ramai membahas kekeliruan itu, bahkan sebagian menjadikannya bahan banyolan lewat hastag #HatiSayaBergetar.
Jelas pidato Presiden Jokowi keliru. Karena presiden pertama Republik Indonesia itu lahir di Surabaya, bukan di Blitar. Penulis pidatonya, Sukardi Rinakit pun telah memberikan pengakuan serta permohonan maaf atas kekeliruan data sejarah itu.
“Kesalahan tersebut sepenuhnya adalah kekeliruan saya dan menjadi tanggung jawab saya,′′ ujar Sukardi lewat siaran pers yang dikirim melalui pesan singkat kepada para wartawan.
Secara guyon, beberapa pengguna media sosial melontarkan lagi pertanyaan: “lahirnya normal atau lewat operasi caesar?“ dan sebagian lain mempertanyakan “mana bukti akta kelahirannya?”.
Namun Bambang Eryudhawan, seorang arsitek dan juga pemerhati sejarah, punya bukti otentik ihwal kota kelahiran Presiden Sukarno di Surabaya. Kepada redaksi Historia.id dia menunjukkan buku induk Technische Hogeschool (TH, cikal bakal ITB Bandung) yang memuat data Sukarno semasa kuliah di sana.
“Ini buku induk mahasiswa TH yang dibuat sejak TH berdiri pada 1920 sampai dengan masa sebelum kedatangan Jepang. Sukarno ada di nomor urut 55. Dia masuk TH Bandung pada 1921, artinya setahun setelah TH didirikan,” kata Bambang yang juga alumnus ITB dan dikenal sebagai arsitek ahli konservasi bangunan kuno itu.
Pada data dalam buku induk itu disebutkan jika Sukarno (tertulis di sana "Raden Soekarno") lahir di Surabaya pada 6 Juni 1902, bukan 1901 sebagaimana yang resmi dikenal sebagai tahun kelahirannya.
“Tahun itu salah. Itu lumrah karena biasanya dulu anak yang mau masuk sekolah usianya dibuat muda atau bahkan sengaja dituakan oleh orang tuanya. Kemungkinan besar data itu menggunakan data semasa Sukarno sekolah di HBS Surabaya,” kata dia.
Tercatat dalam data buku induk itu ayah Sukarno bernama R. Sosrodihardjo, bekerja sebagai guru (onderwijzer) di Blitar. Ada sedikit perbedaan dalam penulisan nama ibunya yang dikenal Ida Ayu Nyoman Rai, tertulis dalam buku induk tersebut “Ida Nyomanaka”. Sukarno tercatat sebagai mahasiswa teknik sipil jurusan pengairan (waterbouwkunde).
Bukan saja data diri Sukarno dan semua mahasiswa TH, seluruh mahasiswa yang pernah sekolah di sana pun dicatat secara lengkap oleh pihak universitas teknik pertama di Indonesia itu.
“Buku ini mencatat semua nama mahasiswa baik yang lulus maupun yang tidak lulus dari TH. Bahkan apa pekerjaan mereka setelah lulus pun masuk dalam catatan,” kata Bambang.
Nilai Sukarno semasa kuliah di TH pun dicatat dalam buku tersebut. Setelah sempat cuti selama hampir setahun pada 1921, dia melanjutkan kuliahnya pada tahun ajaran 1922/1923. Nilai yang diperoleh pada tahun itu adalah 5,85. Nilai pada 1923/1924 6,75, 1924/1925 6,28 dan nilai pada tahun ajaran 1925/1926 adalah 6,55.
Bukti buku induk mahasiswa TH Bandung ini memperkuat keterangan Sukarno sendiri mengenai kota kelahirannya. Dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno berkisah, “Karena merasa tidak disenangi di Bali, Bapak kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk pindah ke Jawa. Bapak dipindah ke Surabaya dan di sanalah aku dilahirkan,” demikian kata Sukarno memperjelas kota tempat kelahirannya itu.